Jumat, 31 Juli 2009 | 13:48 WIB
KEHILANGAN JEJAK SAPARDIAN PADA SAJAKNYA DI KOMPAS 22 MARET 2009 - SEBILAH PISAU DAPUR YANG KAUBELI DARI PENJAJA YANG SETIDAKNYA SEMINGGU SEKALI MUNCUL BERKELILING DI KOMPLEKS, YANG SELALU BERJALAN MENUNDUK DAN HANYA SESEKALI MENAWARKAN DAGANGANNYA DENGAN SUARA YANG KADANG TERDENGAR KADANG TIDAK, YANG KALAU DITANYA BERAPA HARGANYA PASTI DIKATAKANNYA, “TERSERAH SITU SAJA…”
(KADO ULTAH SAPARDI DJOKO DAMONO KE 70)
Mengenal Sapardi Djoko Damono seperti mengenal jelas jejak kreativitas saya tigapuluh tahun yang lalu hingga terakhir mengikuti matakuliah dia secara resmi dan menghasilkan tesis yang juga atas bimbingannya. Saya murid yang bengal untuk ukuran akademis karena saya tidak menguntit seratus persen segala yang dijejaki gurunya. Saya membayanginya seperti halnya sajak dia yang monumental:
BERJALAN KE BARAT WAKTU PAGI HARI
waktu aku berjalan ke barat di waktu pagi matahari mengikutiku di belakang
aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan
aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang
aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan
(dari kumpulan Mata Pisau, Balai Pustaka, 1982)
Begitu tegarnya penyair bahwa barat adalah arah pasti dan bayang-bayang menunjukkan arah hingga pada kesimpulan bahwa tak ada konflik baik dari sumber ilmu bayang-bayang yang membayangi kepenyairannya dan penyair sendiri. Lengkaplah pengaruh barat yang liris dan imajis itu jadi milik pribadi penyair yang nantinya akan menjadikan panutan mereka yang dikelompokkan dalam Sapardian Poets. Jumbuhnya pangroso dan roso menjadikan warna yang lekat padanya.
Selain keyakinan penyair yang menyandang predikat hujan bulan Juni begitu kuyup penyair juga suka akan kolam berserta habitatnya dan yang memayungi seperti pohon jeruk. Jadi setelah terlepas dari DukaMu Abadi penyair nmerenangi dunia kolam dan hujan demikian tekun sampai pada saatnya akan menemukan mata pisau yang menjadi tonggak penyair setelah meraih jalan ke barat tanpa pertengkaran.
Sajak yang berkubang kolam telah termuat pada Kompas, Minggu, 10 Juni 2007. sebuah titi mangsa yang menengarai kesukaan penyair akan bulan dan hujan. Penyair imajis liris ini telah berani bermain dengan kata sederhana karena terpengaruh atas sajak-sajak mbeling asuhan Remisilado saat masih ada majalah musik Aktuil . Maka sajaknya jadi bernarasi seperti pada sajak panjang berikut:
KOLAM DI PEKARANGAN
/1/
Daun yang membusuk di dasar kolam itu masih juga tengadah ke ranting pohon jeruk yang dulu melahirkannya. la ingin sekali bisa merindukannya. Tak akan dilupakannya hari itu menjelang subuh hujan terbawa angin memutarnya pelahan, melepasnya dari ranting yang dibebani begitu banyak daun yang terus-menerus berusaha untuk tidak bergoyang. la tak sempat lagi menyaksikan matahari yang senantiasa hilang-tampak di sela-sela rimbunan yang kalau siang diharapkan lumut yang membungkus batu-batu dan menempel di dinding kolam itu. Ada sesuatu yang dirasakannya hilang di hari pertama ia terbaring di kolam itu, ada lembab angin yang tidak akan bisa dirasakannya lagi di dalam kepungan air yang berjanji akan membusukkannya segera setelah zat yang dikandungnya meresap ke pori-porinya. Ada gigil matahari yang tidak akan bisa dihayatinya lagi yang berkas-berkas sinarnya suka menyentuh-nyentuhkan hangatnya pada ranting yang hanya berbisik jika angin lewat tanpa mengatakan apa-apa. Zat itu bukan angin. Zat itu bukan cahaya matahari. Zat itu menyebabkannya menyerah saja pada air yang tak pernah bisa berhenti bergerak karena ikan-ikan yang di kolam itu diperingatkan entah oleh Siapa dulu ketika waktu masih sangat purba untuk tidak pernah tidur. Ia pun bergoyang ke sana ke mari di atas hamparan batu kerikil yang mengalasi kolam itu. Tak pernah terbayangkan olehnya bertanya kepada batu kerikil mengapa kamu selalu memejamkan mata. Ia berharap bisa mengenal satu demi satu kerikil itu sebelum sepenuhnya membusuk dan menjadi satu dengan air seperti daun-daun lain yang lebih dahulu jatuh ke kolam itu. Ia tidak suka membayangkan daun lain yang kebetulan jatuh di kaki pohon itu, membusuk dan menjadi pupuk, kalau kebetulan luput dari sapu si tukang kebun.
*
la ingin sekali bisa merindukan ranting pohon jeruk itu.
*
Ingin sekali bisa merindukan dirinya sebagai kuncup.
/2/
Ikan tidak pernah merasa terganggu setiap kali ada daun jatuh ke kolam, ia memahami bahwa air kolam tidak berhak mengeluh tentang apa saja yang jatuh di dalamnya. Air kolam, dunianya itu. Ia merasa bahagia ada sebatang pohon jeruk yang tumbuh di pinggir kolam itu yang rimbunannya selalu ditafsirkannya sebagai anugerah karena melindunginya dari matahari yang wataknya sulit ditebak. Ia senang bisa bergerak mengelilingi kolam itu sambil sesekali menyambar lumut yang terjurai kalau beberapa hari lamanya si empunya rumah lupa menebarkan makanan. Mungkin karena tidak bisa berbuat lain, mungkin karena tidak akan pernah bisa memahami betapa menggetarkannya melawan arus sungai atau terjun dari ketinggian, mungkin karena tidak pernah merasakan godaan umpan yang dikaitkan di ujung panting. Ia tahu ada daun jatuh, ia tahu daun itu akan membusuk dan bersenyawa dengan dunia yang membebaskannya bergerak ke sana ke mari, ia tahu bahwa daun itu tidak akan bisa bergerak kecuali kalau air digoyang-goyangnya. Tidak pernah dikatakannya Jangan ikut bergerak tinggal saja dipojok kolam itu sampai zat entah apa itu membusukkanmu. Ikan tidak pernah percaya bahwa kolam itu dibuat khusus untuk dirinya oleh sebab itu apa pun bisa saja berada di situ dan bergoyang-goyang seirama dengan gerak air yang disibakkannya yang tak pernah peduli ia meluncur ke mana pun. Air tidak punya pintu.
*
Kadangkala ia merasa telah melewati pintu demi pintu.
*
Merasa lega telah meninggalkan suatu tempat dan tidak hanya tetap berada di situ.
/3/
Air kolam adalah jendela yang suka menengadah menunggu kalau-kalau matahari berkelebat lewat di sela rimbunan dan dengan cerdik menembusnya karena lumut merindukannya. Air tanpa lumut? Air, matahari, lumut. Ia tahu bahwa dirinya mengandung zat yang membusukkan daun dari menumbuhkan lumut, ia juga tahu bahwa langit tempat matahari berputar itu berada jauh di luar luar luar sana, ia bahkan tahu bahwa dongeng tentang daun, ikan, dan lumut yang pernah berziarah ke jauh sana itu tak lain siratan dari rasa gamang dan kawatir akan kesia-siaan tempat yang dihuninya. Langit tak pernah firdaus baginya. Dulu langit suka bercermin padanya tetapi sekarang terhalang rimbunan pohon jeruk di pinggirnya yang semakin rapat daunnya karena matahari dan hujan tak putus-putus bergantian menyayanginya. Ia harus merawat daun yang karena tak kuat lagi bertahan lepas dari tangkainya hari itu sebelum subuh tiba. Ia harus merawatnya sampai benar-benar busuk, terurai, dan tak bisa lagi dikenali terpisah darinya. Ia pun harus habis-habisan menyayangi ikan itu agar bisa terus-menerus meluncur dan menggoyangnya. Air baru sebenar-benar air kalau ada yang terasa meluncur, kalau ada yang menggoyangnya, kalau ada yang berterima kasih karena bisa bernapas di dalamnya. Ia sama sekali tak suka bertanya siapa gerangan yang telah mempertemukan kalian di sini. Ia tak peduli lagi apakah berasal dari awan di langit yang kadang tampak bagai burung kadang bagai gugus kapas kadang bagai langit-langit kelam kelabu. Tak peduli lagi apakah berasal dari sumber jauh dalam tanah yang dulu pernah dibayangkannya kadang bagai silangan garis-garis lurus, kadang bagai kelokan tak beraturan, kadang bagai labirin.
*
Ia kini dunia.
*
Tanpa ibarat.
Dalam sajak itu penyair tidak lagi menggunakan personifikasi yang lazim muncul pada sajak-sajak dalam DukaMu Abadi, Mata Pisau, Aquarium dan Perahu Kertas yang dengan mudah melakukan hujan yang meludah, angin berbisik, kata meruncing dan sebagainya. Daya pukau sajak Sapardi Djoko Damono pada suasana yang terbentuk imajis liris dan penuh personifikasi kadang juga menjadi metaforis. Tapi sajak di atas jauh dari swasana karena gaya narasinya dan adanya karakterisasi yang mantap pada daun yang jatuh di kolam, penghuni kolam berupa ikan yang tak pernah lelap, juga air kolam itu sendiri yang menyatu dalam suatu semesta maya rekaan penyair.
Sajak yang terbaru Sapardi adalah tersiar dalam Kompas, Minggu 23 Maret 2009 tiga hari setelah Sapardi Djoko Damono menggenapi usia dengan akan mistis 69. Angka yang berkonotasi sexualitas. Angka yang menyaran pada teknik bersenggama asmara melibat menggelora. Sebuah angka fantastis, maka saya menyiapkan tulisan ini untuk menyambut angka tonggak manusia setelah selesai bekerja total dalam dunia nyata (bukan kekreatifitasan!) yakni 70. Angka yang jarang dilewati manusia dengan gagah sehat wal afiat dan lengkap. Dan tahap berikutnya adalah angka 80. Angka seratus barangkali adalah batas halusinasi manusia moderen yang tak tersengat stress.
Untuk mengawali sajak pungkasan yang tersiar di media masa ada baiknya kita toleh ke belakang pada sajak penyair dengan fokus yang sama: “Mata Pisau”
mata pisau itu tak berkejab menatapmu;
kau yang baru mengasahnya
berfikir: ia tajam untuk mengiris apel
yang tersedia di atas meja
sehabis makan malam;
ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu.
(dari kumpulan Mata Pisau, Balai Pustaka, 1982)
Sajak yang penuh personifikasi ini menyaran pada sikap Sapardi yang menengok ke barat seperti dalam sajak: BERJALAN KE BARAT WAKTU PAGI HARI yang menunjukkan kemampuan filosfis Sapardi yang majing ajur ajer pada dunia rekaan barat. Pada sajak “Mata Pisau” lebih tegas lagi sikap ke-barat-an penyair dengan memilih buah apel yang di meja bukan jambu, pisang, papaya, kepel ataupun kesemek. Kalau alasan mengejar rima sajak “Mata Pisau” tidak menunjukkan adanya gejala rima pada akhiran –pel (kenapa tidak buah kepel, mangga mengkel, jeruk sebulat bola bekel?). Sikap menoleh kebarat memang tidak dapat dihindari Sapardi karena memang mempunyai dasar akademis Sastra Inggris (terutama Amerika Serikat). Bahkan baris akhir sajak itu tidak terasa kengerian pembunuhan kecuali rasa seksualitas yang halus dan tinggi. Leher jenjang dan mulus mengasosiasikan kemampuan sesualitas yang asyik. Lain dengan sajak “Akuarium” yang ada pembedah terdahulu melalui kacamata semiotika yang mengundang petanda dan penanda yang diturunkan oleh Bloomfield pada pemahaman bahasa yang terwujud karena adanya respond an stimulus, sajak yang menyaran pada etalase wanita penghibur dengan nomer pinggang yang siap melayani all out di atas ranjang. Simak sajak tersebut sebelum kita menukik ke sajak pungkasan Sapardi yang tersiar di Kompas Minggu:
kau yang mengatakan: matanya ikan!
kau yang mengatakan: matanya dan rambutnya dan pundaknya ikan!
kau yang mengatakan: matanya dan rambutnya dan pundaknya dan lengannya dan dadanya dan pinggulnya dan pahanya ikan!
“Aku adalah air,” teriakmu, “adalah ganggang adalah lumut adalah gelembung udara adalah kaca adalah …”
(dari kumpulan Mata Pisau, Balai Pustaka, 1982)
Begitulah penyair yang saya curigai telah berbelok pada tikungan hidupnya dengan menyodorkan puisi dengan judul sepanjang satu alinea dan merunut jejaknya yang dulu dengan seragam baru.
Sebilah Pisau Dapur yang Kaubeli dari Penjaja
yang Setidaknya Seminggu Sekali Muncul
Berkeliling di Kompleks, yang Selalu Berjalan
Menunduk dan Hanya Sesekali Menawarkan
Dagangannya dengan Suara yang Kadang
Terdengar Kadang Tidak, yang Kalau Ditanya
Berapa Harganya Pasti Dikatakannya,
“Terserah Situ Saja…”
/1/
takdir pun dimulai
di pintu pagar
sehabis kaubayar
kita perlu sebilah
pengganti si patah
kau telah memilih pisau
berasal dari rantau
matanya yang redup
tiba-tiba hidup
/2/
bahasanya tak kaukenal
tentu saja
tapi dengan cermat
dipelajarinya bahasamu
yang berurusan
dengan mengiris
dan menyayat
yang tak lepas dari tata cara
meletakkan sayur berjajar
di talenan untuk dirajang
sebelum dimasukkan
ke panci yang mendidih airnya
dan dengan cepat
dikuasainya bahasamu
yang memiliki kosa kata lengkap
untuk mengurus bangkai ayam
membersihkan usus
memotong-motongnya
dan merajang hatinya
/3/
ia tulus dan ikhlas belajar
menerima kehadirannya
di antara barang-barang
yang telungkup
yang telentang
yang bergelantungan
yang kotor
yang retak
yang bau sabun
yang berminyak
di seantero dapur
/4/
segumpal daging merah
sedikit darah
di meja dapur
di sebelah cabe
berhimpit dengan bawang
yang menyebabkan
matanya berlinang
teringat akan mangga
yang tempo hari dikupasnya
teringat akan apel
yang kemarin dibelahnya
di meja makan
/5/
kau sangat hati-hati
memperlakukannya
waswas akan tatapannya
sangat sopan menghadapinya
meski kau yakin
seyakin-yakinnya
ia bukan keris pusaka
kau sangat hati-hati
setiap kali menaruhnya
di pinggir tempat cuci piring
takut melukai matanya
/6/
kau merasa punya tugas
untuk teratur mengasahnya
dinantinya saat-saat
yang selalu menimbulkan
rasa bahagia itu
inderanya jadi lebih jernih
jadi lebih awas
jadi lebih tegas
memilah yang manis
dari yang pedas
meraba yang lunak
di antara yang keras
/7/
apa gerangan yang dibisikkannya
kepada batu pengasah itu
/8/
ia suka berkejap-kejap
padaku, kata cucumu
kau buru-buru menyeretnya
menjauh dari dapur
yang tiba-tiba terasa gerah
/9/
ia kenal hanya selarik doa
yang selalu kauucapkan
sebelum memotong ikan
yang masih berkelejotan
kalau tanganmu gemetar
memegang tangkainya
ia pejamkan mata
mengucapkan doa
/10/
kenangannya pada api
yang dulu melahirkannya
menyusut ketika tatapannya
semakin tajam
oleh batu asah
kenangannya pada landasan
dan palu yang dulu menempanya
kenangannya pada jari-jari kasar
yang pertama kali mengelusnya
kenangannya
pada kata pertama
si pandai besi
ketika lelaki itu
melemparkannya ke air
yang mengeluarkan suara aneh
begitu tubuhnya
yang masih membara
tenggelam dan mendingin
kenangannya pada benda-benda
yang telah melahirkannya
semakin redup
ketika saat ini ia merasa
sepenuhnya tajam
seutuhnya hidup
/11/
dua sisi matanya
tak pernah terpejam
sebelah menatapmu
sebelah berkedip padaku
jangan pernah tanyakan
makna tatapan
yang melepaskan isyarat
seperti bintik-bintik cahaya
yang timbul-tenggelam
di sela-sela gema
di sela-sela larik-larik
Kitab yang menjanjikan
sorga bagi kita
/12/
ujungnya menunjuk ke Sana?
diam-diam terucap
pertanyaanmu itu
menjelang subuh
:
matanya tampak berlinang
dari sudut-sudutnya muncul
gelembung-gelembung darah
satu demi satu pecah
:
satu demi satu pecah
:
satu demi satu pecah
:
lantunan azan
Begitu bersahajanya sajak ini mengingatkan puisi-puisi mbeling tahun tujuhpuluhan di majalah musik Aktuil yang digawangi oleh 23761. Ketegasan memilih pisau rantau dengan bahasanya yang perlu dipelajari dan pengulangan penggunaan kosa kata apel lagi menjadi jembatan kekreatifan penyair walau sebagai pembaca yang pernah menguntit jejak kepenyairannya merasa kehilangan jejak liris imajis personifikasi menjadi jujur terbuka dan sederhana dengan pilihan kata yang biasa. Biasa oleh penyair mbeling yang mencoba mentak-sakralkan puisi, tapi puisi Sapardi tetap suci sesuci air perwitasari yang diburu Bima dan ketemu Dewa Ruci: Gila saya dituntun memasuki labirin baru Sapardi Djoko Damono!
-------
Bogor Maret menjelang kampanye legislatif yang gamang 09
cunong n. suraja
dosen Intercultural Communication, FKIP Univ. Ibn Khaldun Bogor
Sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2009/07/31/13483464/Mengenali.Sapardi.Djoko.Damono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar